Peran perpustakaan sebagai salah satu unit pendukung kegiatan ilmiah mahasiswa dalam sebuah lingkungan pendidikan sangatlah besar. Sudah sewajarnya bahkan bisa dibilang sebagai suatu ‘keharusan’ jika perpustakaan melakukan berbagai upaya pembenahan dalam berbagai sisi. Perpustakaan harus mampu berubah sehingga bisa berperan sebagai ‘partner’ handal mahasiswa dalam melakukan aktifitas ilmiah.Perubahan yang dilakukan dalam hal layanan, bukan hanya dari kuantitas saja, tetapi juga dari segi kualitasnya. Kuantitas, berarti perpustakaan mampu menyediakan berbagai jenis layanan dengan jumlah yang cukup beragam. Sedangkan kualitas, berarti perpustakaan senantiasa melakukan perubahan untuk bisa memberikan layanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mahasiswa.
Melalui pendekatan perpustakaan yang baru (paradigma baru), Perpustakaan UMS senantiasa melakukan perubahan dalam rangka peningkatan kualitas layanan. Melakukan berbagai kegiatan yang lebih banyak melibatkan peran mahasiswa, diharapkan mampu menciptakan layanan yang benar-benar berorientasikan kepada pemustaka (mahasiswa). Berani keluar dari ‘pakem lama’, akan membuat perpustakaan menjadi pilihan utama mahasiswa sebagai tempat untuk berkegiatan ilmiah diluar kegiatan perkuliahan.
Kualitas layanan yang disediakan perpustakaan UMS, akan semakin lengkap saat dipadukan dengan beberapa perubahan yang terkait dengan sarana fisik seperti gedung dan furniture (meja kursi baca dan rak buku) yang menarik (tidak kuno). Suasana menyenangkan yang dirasakan mahasiswa saat berada di perpustakaan adalah hal yang sedang diupayakan/dilakukan oleh Perpustakaan UMS. Go green, warna-warna cerah dinding setiap ruangan yang ada di berbagai lantai, furniture dengan tampilan yang menarik, adalah agenda berikut yang akan dilakukan.
Kualitas layanan perpustakaan UMS semakin nyata dirasakan pemustaka (mahasiswa) saat kebijakan/peraturan terkait pemanfaatan beberapa fasilitas, koleksi, dan layanan juga berubah, disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pemustaka. Beberapa kebijakan/peraturan baru tersebut diantaranya adalah bertambahnya jumlah buku yang bisa dipinjam, peminjaman saat hari libur (Holiday Loan), penambahan jam buka layanan, Pelatihan Layanan Prima bagi petugas perpustakaan, dan penerbitan tabloid Info Perpustakaan sebagai media tempat informasi terbaru (up date information) bagi perpustakaan.
Perubahan yang berujung kemudahan sudah seharusnya selalu dilakukan oleh perpustakaan UMS. Karena salah satu ciri perpustakaan ideal adalah mampu menawarkan kemudahan yang pada akhirnya mampu memanjakan pemustaka. Mudah, cepat, tepat, menarik, ramah, dan puas adalah beberapa hal yang perlu diramu secara pas, hingga menjadi pas bagi pemustaka dan pas bagi perpustakaan. (Kenretno-Pustakawan UMS)
Dunia berbagi cerita, pengalaman dan tulisan-tulisan yang bisa menambah wawasan dan kreatifitas dalam kehidupan kita.
Selasa, 13 November 2012
HAJI : ANTARA EGOISME DAN ALTRUISME
Bangsa Indonesia patut berbangga. Sebab, jumlah jamaah haji Indonesia ternyata terbanyak bila dibanding negara lain. Dari sekitar 43.478 orang yang tiba di Madinah pada 10 Oktober lalu, 32.276 adalah jamaah haji asal Tanah Air (hidayatullah.com. 10/10).Posisi itu paling tinggi di atas India dan Turki.
Dalam hal ini, ada dua hal kenapa harus bangga. Pertama, kesadaran warga Indonesia menunaikan rukun Islam ke lima sangat tinggi. Kedua, jika melihat biaya haji yang tinggi, hal itu indikasi bahwa ekonomi masyarakat, terutama umat Islam relatif menggembirakan.Seperti dilansir DetikNews.com (23/06), jumlah jamaah haji tahun 2011 mencapai angka sekitar 200 ribu peserta. Peringkat paling atas diwakili Jakarta dengan jumlah 60.197 kemudian disusul Surabaya 40.398 orang. Angka itu belum lagi jika ditambah calon haji (calhaj) yang masih dalam daftar tunggu (waiting list) yang jumlahnya juga tidak sedikit. Angka tersebut tentunya akan lebih besar bila digabung. Kenapa hal ini perlu dikalkulasikan? Bila melihat cost haji yang cukup besar, atau sekitar Rp 30 juta, maka kalau Rp 30 juta itu dikalikan 200 ribu, hasilnya akan sangat besar. Triliunan rupiah!
Sekarang, mari kita lihat jumlah penduduk Indonesia tahun 2011. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), pada tahun ini, jumlah penduduk negara ini mencapai sekitar lebih dari 241 juta jiwa. Dan, mari kita coba lihat lagi standar kemiskinan yang dibuat Bank Pembangunan Asia (ADB). Menurut ADB, dikatakan miskin bila berpenghasilan di bawah 1.25 dollar AS per hari atau sekitar Rp 10.625.
Di Indonesia, entah berapa persen masyarakat yang tergolong berpendapatan di bawah 1.25 dollar. Tak terlalu penting sebenarnya data itu. Sebab, bila melihat realitas yang ada, setidaknya data itu telah terjawab. Lihat saja kesejahteraan masyarakat yang masih sangat jauh dari harapan. Begitu pula jumlah pengangguran, pengemis, gelandangan yang masih banyak. Lihat saja ketika bulan puasa tiba. Tontonan mustahik yang berebut zakat dengan begitu mengenaskan hingga merenggut nyawa kerap terjadi. Realitas itu hingga kini bak benang kusut yang sulit diurai. Bagi masyarakat yang mampu berhaji, tentunya pendapatannya di atas Rp 10 ribu per harinya. Atau setidaknya tidak termasuk kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan mereka per hari bisa berkali lipat. Bisa Rp 100 ribu atau bahkan lebih. Tergantung profesi. Pejabat biasanya bergaji jutaan rupiah per bulan. Begitu juga pebisnis, per bulan bisa meraup puluhan juta rupiah atau bahkan lebih. Haji sebenarnya memiliki nilai prestise tersendiri bagi masyarakat. Tidak saja secara transendtal –memenuhi perintah Allah--, tapi juga secara sosial-kultural.
Orang yang telah berhaji biasanya dianggap alim atau shaleh. Karena itu, biasanya, orang yang telah berhaji mendapat julukan baru:al haj atau haji/hajah yang diikuti perubahan lahiriyah. Seperti dari gaya berpakaian yang lebih Islami. Karena itu, tak begitu heran bila masyarakat berlomba-lomba menunaikan ibadah yang menelan dana puluhan juta rupiah itu. Hal itu akan lebih berbeda lagi bagi para “pejabat”.
Tak sedikit di antara mereka yang melakukan haji lebih dari satu kali. Itu belum lagi kalau dihitung umrah. Bisa jadi, hampir setiap tahun berangkat umrah. Pasalnya, konon, umroh dan haji dianggap cara moncer untuk membangun brand image citra politik maupun sosial di masyarakat. Apalagi, bila sedang dililit kasus. Pergi ke tanah suci, biasanya menjadi solusi. Adanya orang naik haji lebih dari sekali bisa menjadi ritus paradoks dalam konteks kemasyarakatan. Apalagi bila selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun. Namun, lebih mengutamakan hajinya daripada berbagi (altruisme atau itsar) kepada sesama. Padahal, altruisme juga penting daripada egoisme dalam beribadah. Karena itu, pertanyaannya: apa gunanya haji tapi apatis? Apa gunanya haji tapi asosial? Padahal, indikasi kesuksesan haji, salah satunya diukur dari keshalehan sosial. Coba bayangkan bila angka 200 ribu orang haji itu memiliki sifat altruistik yang tinggi. Satu orang, misalnya, bisa mengentaskan satu atau bahkan dua orang yang hidup dalam kemiskinan. Niscaya, 200 ribu orang dapat terbantu. Apalagi kalau itu terjadi pada tiap tahunnya. Tidak terlalu sulit. Untuk keluar dari garis kemiskinan caranya mereka disuntik agar pendapatan mereka melebihi angka Rp 10 ribu per hari. Tidak terlalu banyak.
Seorang muslim yang berhaji tentunya memiliki spirit altruisme yang besar. Spirit itu setidaknya akan didapat ketika melakukan serangkaian ibadah haji: thawaf, ihram, wukuf, sa’i, dan ketika tawaf mengitari kabah. Ada tanggung jawab sosial di situ: di mana muslim hidup tidak hanya mengendepankan egoisme personal, tapi juga punya tanggung jawab sosial, seperti satu tubuh. Ada cerita menarik tentang ini. Suatu waktu, ada ahli sufi, Ibrahim bin Ahmad, bemimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. “Tahun ini ada berapa jamaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab,” Dari sekian ribu jamaah, tak satupun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.” Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, “Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.” Jadi, apabila gelar Al-hajj telah disandang, tapi altruisme tidak terpatri di dalam dirinya, atau bahkan egoisme makin bertambah, perlu dipertanyakan kemabrurannya: kira-kira diterima atau tidak ibadahnya? Jadi, di mana hati orang yang berhaji hingga dua kali tapi belum berbuat apa-apa bagi orang tidak mampu di sekelilingnya? Jika demikian, tanyalah pada onta di padang pasir!
Syaiful Anshor (Alumnus STAI Lukman Al Hakim, Surabaya)
Sumber :
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35671&Itemid=82)
Kenretno's Note :
Kutemukan saat aku pengin tahu lebih dalam tentang haji ditinjau dari sisi kEhidupan sosial. Mencoba menjawab kegusaran hati dan pikiran saat 'kecamuk hati' atas hukum haji ke 2, 3, dst.
Dalam hal ini, ada dua hal kenapa harus bangga. Pertama, kesadaran warga Indonesia menunaikan rukun Islam ke lima sangat tinggi. Kedua, jika melihat biaya haji yang tinggi, hal itu indikasi bahwa ekonomi masyarakat, terutama umat Islam relatif menggembirakan.Seperti dilansir DetikNews.com (23/06), jumlah jamaah haji tahun 2011 mencapai angka sekitar 200 ribu peserta. Peringkat paling atas diwakili Jakarta dengan jumlah 60.197 kemudian disusul Surabaya 40.398 orang. Angka itu belum lagi jika ditambah calon haji (calhaj) yang masih dalam daftar tunggu (waiting list) yang jumlahnya juga tidak sedikit. Angka tersebut tentunya akan lebih besar bila digabung. Kenapa hal ini perlu dikalkulasikan? Bila melihat cost haji yang cukup besar, atau sekitar Rp 30 juta, maka kalau Rp 30 juta itu dikalikan 200 ribu, hasilnya akan sangat besar. Triliunan rupiah!
Sekarang, mari kita lihat jumlah penduduk Indonesia tahun 2011. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), pada tahun ini, jumlah penduduk negara ini mencapai sekitar lebih dari 241 juta jiwa. Dan, mari kita coba lihat lagi standar kemiskinan yang dibuat Bank Pembangunan Asia (ADB). Menurut ADB, dikatakan miskin bila berpenghasilan di bawah 1.25 dollar AS per hari atau sekitar Rp 10.625.
Di Indonesia, entah berapa persen masyarakat yang tergolong berpendapatan di bawah 1.25 dollar. Tak terlalu penting sebenarnya data itu. Sebab, bila melihat realitas yang ada, setidaknya data itu telah terjawab. Lihat saja kesejahteraan masyarakat yang masih sangat jauh dari harapan. Begitu pula jumlah pengangguran, pengemis, gelandangan yang masih banyak. Lihat saja ketika bulan puasa tiba. Tontonan mustahik yang berebut zakat dengan begitu mengenaskan hingga merenggut nyawa kerap terjadi. Realitas itu hingga kini bak benang kusut yang sulit diurai. Bagi masyarakat yang mampu berhaji, tentunya pendapatannya di atas Rp 10 ribu per harinya. Atau setidaknya tidak termasuk kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan mereka per hari bisa berkali lipat. Bisa Rp 100 ribu atau bahkan lebih. Tergantung profesi. Pejabat biasanya bergaji jutaan rupiah per bulan. Begitu juga pebisnis, per bulan bisa meraup puluhan juta rupiah atau bahkan lebih. Haji sebenarnya memiliki nilai prestise tersendiri bagi masyarakat. Tidak saja secara transendtal –memenuhi perintah Allah--, tapi juga secara sosial-kultural.
Orang yang telah berhaji biasanya dianggap alim atau shaleh. Karena itu, biasanya, orang yang telah berhaji mendapat julukan baru:al haj atau haji/hajah yang diikuti perubahan lahiriyah. Seperti dari gaya berpakaian yang lebih Islami. Karena itu, tak begitu heran bila masyarakat berlomba-lomba menunaikan ibadah yang menelan dana puluhan juta rupiah itu. Hal itu akan lebih berbeda lagi bagi para “pejabat”.
Tak sedikit di antara mereka yang melakukan haji lebih dari satu kali. Itu belum lagi kalau dihitung umrah. Bisa jadi, hampir setiap tahun berangkat umrah. Pasalnya, konon, umroh dan haji dianggap cara moncer untuk membangun brand image citra politik maupun sosial di masyarakat. Apalagi, bila sedang dililit kasus. Pergi ke tanah suci, biasanya menjadi solusi. Adanya orang naik haji lebih dari sekali bisa menjadi ritus paradoks dalam konteks kemasyarakatan. Apalagi bila selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun. Namun, lebih mengutamakan hajinya daripada berbagi (altruisme atau itsar) kepada sesama. Padahal, altruisme juga penting daripada egoisme dalam beribadah. Karena itu, pertanyaannya: apa gunanya haji tapi apatis? Apa gunanya haji tapi asosial? Padahal, indikasi kesuksesan haji, salah satunya diukur dari keshalehan sosial. Coba bayangkan bila angka 200 ribu orang haji itu memiliki sifat altruistik yang tinggi. Satu orang, misalnya, bisa mengentaskan satu atau bahkan dua orang yang hidup dalam kemiskinan. Niscaya, 200 ribu orang dapat terbantu. Apalagi kalau itu terjadi pada tiap tahunnya. Tidak terlalu sulit. Untuk keluar dari garis kemiskinan caranya mereka disuntik agar pendapatan mereka melebihi angka Rp 10 ribu per hari. Tidak terlalu banyak.
Seorang muslim yang berhaji tentunya memiliki spirit altruisme yang besar. Spirit itu setidaknya akan didapat ketika melakukan serangkaian ibadah haji: thawaf, ihram, wukuf, sa’i, dan ketika tawaf mengitari kabah. Ada tanggung jawab sosial di situ: di mana muslim hidup tidak hanya mengendepankan egoisme personal, tapi juga punya tanggung jawab sosial, seperti satu tubuh. Ada cerita menarik tentang ini. Suatu waktu, ada ahli sufi, Ibrahim bin Ahmad, bemimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. “Tahun ini ada berapa jamaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab,” Dari sekian ribu jamaah, tak satupun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.” Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, “Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.” Jadi, apabila gelar Al-hajj telah disandang, tapi altruisme tidak terpatri di dalam dirinya, atau bahkan egoisme makin bertambah, perlu dipertanyakan kemabrurannya: kira-kira diterima atau tidak ibadahnya? Jadi, di mana hati orang yang berhaji hingga dua kali tapi belum berbuat apa-apa bagi orang tidak mampu di sekelilingnya? Jika demikian, tanyalah pada onta di padang pasir!
Syaiful Anshor (Alumnus STAI Lukman Al Hakim, Surabaya)
Sumber :
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35671&Itemid=82)
Kenretno's Note :
Kutemukan saat aku pengin tahu lebih dalam tentang haji ditinjau dari sisi kEhidupan sosial. Mencoba menjawab kegusaran hati dan pikiran saat 'kecamuk hati' atas hukum haji ke 2, 3, dst.
Langganan:
Postingan (Atom)